Prestasi adalah sebuah perjalanan dan langkah-langkah produktif yang diakui orang lain...

Senin, 07 Desember 2009

Kabarmu Kini: NOMO KOESWOYO

Semua orang pernah berbuat salah. Dan betapapun menyebalkan dan susah untuk dilakukan, tapi meminta maaf adalah sebuah hal yang mulia untuk dilakukan. Apalagi katanya di bulan puasa seperti sekarang ini, katanya pintu maaf itu sedang dibuka lebar-lebar sama yang Diatas.

Mengucapkan kata “Maaf” sebenarnya sih bukan hal yang paling susah dilakukan di dunia ini. Gampang kok. Tinggal buka mulut, bilang “.. Maaf….”, terus mulutnya ditutup lagi, selesai. Gampang toh? Yang justru paling susah sebenarnya adalam bagaimana menunjukkan rasa penyesalan yang tulus atas kesalahan yang kita lakukan. Menyesal dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Saya mau membagikan sebuah pengalaman yang membuat saya agak-agak merinding setiap kali mengingatnya.

Beberapa minggu yang lalu saya pergi sebuah tempat di Magelang. Bukan, bukannya pergi untuk pulang kampung. Tapi saya pergi dalam rangka mengunjungi sebuah rumah di daerah Terminal Soekarno-Hatta Magelang, menemui salah satu legenda musik Indonesia yang masih hidup, Nomo Koeswoyo. Salah satu personel grup legendaris Koes Plus yang tersisa, yang ternyata tinggalnya satu kota dengan saya, dan saya baru tahu kemarin itu!

Saya pergi kesana dalam rangka sowan atau dalam bahasa Indonesianya ya (kurang lebihnya) berkunjung untuk beramah-tamah, sekalian untuk memperkenalkan diri kepada beliau tentang radio tempat saya bekerja sekarang. Karena salah satu program baru yang saya create di radio ini adalah program pemutaran lagu-lagu dari keluarga Koeswowoyo, mulai dari Koes Bersaudara, No Koes, Koes Plus hingga Chicha Koeswoyo dan Helen Koeswoyo. Jadi ya intinya adalah semacam minta ijin, mohon doa restu, kulonuwun atau apapun lah itu namanya. Sebenarnya tidak ada yang mengharuskan saya melakukan hal itu. Tapi tidak ada salahnya, bukan?

Segitu mendalamnya kah saya memahami dan mencintai lagu-lagu maha jadul milik mereka ini? Sama sekali enggak! Sumpah, saya sama sekali buta dengan lagu-lagu mereka, sama halnya saya teramat asing dengan lagu-lagu jadul lainnya yang jumlahnya ribuan itu. Umur segini, harusnya saya masih sibuk update lagu-lagu dari Jason Mraz, Jordin Sparks atau bahkan Lady Ga Ga (kaya nama Sarden ya!). Tapi karena tuntutan pekerjaan yang membuat saya harus mengupdate lagi pengetahuan saya tentang lagu-lagu lama (maklumlah, segmen radio saya sekarang ini adalah keluarga) makanya saya pun harus sesegera mungkin mencoba mengenal lagu-lagu dari Ade Manuhutu, Alfian, Anna Mathovani, Tetty Kadi, Lilis Suryani, The Mercy’s, Grace Simon, Ida Royani , Eddy Silitonga hingga ya Koes Plus itu tadi.

Serasa tua sebelum waktunya, memang…..

Stress, pusing dan berasa mual di awal. Hehehe. Tapi semua itu saya anggap sebagai tantangan yang justru bisa memperkaya pengalaman saya di dunia dan bidang kerja saya sekarang ini. Belajar lagi. Tambah pengetahuan lagi.

Selama perjalanan menuju Magelang, jujur perasaan saya campur aduk. Bersemangat, penasaran hingga sakit perut karena grogi. Gimana ya, mau bertemu dengan seorang legenda musik Indonesia, yang saya sendiri sebenarnya tidak mengenal karya-karya beliau dengan baik! Bahkan mendengarkan lagu-lagu Koes Plus secara nonstop selama perjalanan saja sama sekali tidak membantu. Hehehe. Apa yang nantinya harus saya bicarakan? Apa kalimat pertama yang harus saya ucapkan kepada beliau? Bagaimana kalau ternyata beliau susah diajak mengobrol? Dan masih banyak kekhawatiran-kekhawatiran lainnya di kepala.


Sesampainya saya di lokasi yang dituju, saya segera turun dari mobil. Rumah Om Nomo yang letaknya persis dipinggir jalan itu terdiri dari 2 bangunan di areal tanah yang cukup luas. Satu sebuah bangunan bertingkat yang letaknya paling depan, dan satunya lagi sebuah bangunan kecil yang letaknya lebih menjorok kedalam. Disinilah Om Nomo sehari-harinya tinggal dan menerima tamu-tamunya.

Pertama kali bertemu muka dan berjabat tangandengan beliau, saya cukup terkejut melihat penampilannya yang masih sangat segar untuk ukuran orang berusia 70 tahunan. Dan yang makin membuat saya terkejut lagi adalah gaya berbicaranya yang ceplas-ceplos dan tanpa basa-basi. Dengan berkaus putih dan bercelana pendek, Om Nomo langsung membuka pembicaraan yang membuat saya langsung bengong,

“.. coba, ini tanda-tanda apa ini. Mosok bendera Merah Putih kok dikubur nang laut… Bendera Merah Putih itu harusnya dikibarkan dipuncak gunung.. iki kok malah dipendem nang njero banyu (ini kok malah dikubur di dalam air)”

HEH? Apaan sih, Om???

Ternyata si Om ini sedang ingin membahas tentang aksi para penyelam yang beberapa lalu membuat rekor dunia dengan aksi penyelaman terbanyak, dan melakukan penancapan bendera Merah Putih di dasar laut itu. Menurutnya, itu sudah sebuah penghinaan terhadap bendera negara. Karena para pejuang dulu sudah mengorbankan nyawa mereka untuk mengibarkan sang Merah Putih, lha sekarang bendera kok dibuat main-main.

Let’s not argue with it. Saya juga hanya bisa senyum menanggapi protes Om Nomo ini. Tidak bisa berkata apa-apa. Karena saya memahami sekali, beliau hidup di jaman yang jauh berbeda dengan jaman kita sekarang ini. Beliau yang ikut menjadi saksi bahkan mengalami jungkir baliknya perjuangan. Sehingga seperti layaknya para veteran-veteran perang, rasa nasionalisme itu tidak akan pernah lekang oleh semakin tuanya usia mereka.

Dan dari sinilah saya menjadi semakin mengerti, mengapa banyak sekali lagu-lagu Koes Plus yang bercerita tentang indahnya Nusantara kita, dan juga banyak lagu mereka yang menceritakan tentang kecintaan mereka terhadap Indonesia. Dan Om Nomo yang juga sering dipanggil dengan sebutan Mbah Tuban ini dengan semangatnya menceritakan tentang asal-muasal lagu-lagu yang diciptakannya itu.

Selama perbincangan, jujur perhatian saya tidak hanya terpusat pada cerita-cerita Om Nomo. Tapi beberapa kali perhatian saya sibuk terfokus pada sekeliling pemandangan rumah tempat kami mengobrol saat itu. Rumah yang ditinggali oleh Om Nomo itu- sorry to say, terlihat tua dan agak kumuh. Itu jika dibandingkan dengan bangunan lain yang ada di sebelah depannya yang bertingkat dan terlihat lebih bagus dan terawat. Kenapa beliau mau tinggal di tempat seperti ini?

Dari sinilah semua rasa penasaran saya terjawab. Om Nomo yang terlihat ‘menakutkan’ buat saya diawal-awal pertemuan, ternyata bisa berubah lembut ketika menceritakan tentang kehidupan rumah tangganya. Apalagi jika bercerita tentang istri dan anak-anaknya.

Dia menceritakan tentang kisah hidupnya. Ketika masih berjaya sebagai seorang artis papan atas, apapun bisa dilakukan dan didapatkannya dengan mudah. Uang, kekuasaan, alkohol, senjata bahkan perempuan. Rock nRoll banget lah hidupnya. Tidak hanya ketika masih sendiri, setelah beliau menikah dengan (kalau tidak salah nih bernama) Francis, almarhum istrinya pun. Kebiasaan buruknya berjudi dan bermain perempuan itu tidak lantas menghilang. Dan semua itu dilakukannya dengan sepengetahuan istrinya itu. Tidak diam-diam. Dan dengan rasa bangga, Om Nomo bahkan bilang,

Istri saya itu jempol! Saya bisa lho, satu malam pulang ke rumah dan bilang kalau saya baru saja dari hotel dengan perempuan namanya X…

Edan. Itu setia atau goblok, ya? Itu yang ada dipikiran saya ketika mendengar cerita Om Nomo.

Kebiasaan Om Nomo itu baru berhenti setelah sang Istri meninggal dunia di rumah yang baru saja mereka tempati di Magelang itu. Dan akhirnya di rumah kecil itulah, Om Nomo sekarang memilih menghabiskan hidupnya. Dia tidak mau memilih rumah yang lebih bagus yang ada di halaman depan rumahnya. Dengan tetap tinggal di tempat istrinya menghembuskan nafas terakhirnya itu, dia ingin menunjukkan rasa penyesalan atas perlakuannya kepada istrinya ketika masih hidup, sekaligus ingin memberikan sisa-sisa kesetiaannya yang sempat ‘rusak’ dulu.

Dengan nada datar, Oom Nomo sempat bercerita,

Anakku Cicha pernah bilang ke saya, kenapa baru sekarang Papa sikapnya seperti ini. Kenapa tidak dulu ketika Mama masih ada…

Damn…..



It’s true. Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future…


--------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Daftar Blog Saya

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Swara Gita Musik Indonesia (SGMI) adalah organisasi komersial di bidang event organizer musik, kepromotoran, talent scouting, dan manajemen artis.