Prestasi adalah sebuah perjalanan dan langkah-langkah produktif yang diakui orang lain...

Rabu, 02 Juli 2008

OVER EXPOSE

Pernahkah Anda seperti saya, jenuh dengan pemberitaan mengenai kisruh rumah tangga Dani Ahmad dan Maia Esianti? Atau pernahkah Anda melihat kelatahan media-media kita dalam memberitakan pasangan Mona Ratuliu dan Indra Basco yang disebut-sebut sebagai pasangan artis harmonis?

Itulah dua contoh berita yang over expose alias terlalu banyak ditayangkan. Sebenarnya berita Dani-Maia tidak akan terjerembab ke dalam kategori itu kalau "serial" mereka tidak monoton. Terancam cerai, tapi nggak cerai-cerai juga. Rukun pun kayaknya ogah. Beritanya muter-muter di situ terus.

Akan halnya berita Mona Ratuliu dan Indra Brasco menjadi over expose akibat kelatahan sejumlah media-media tertentu. Ketika sebuah media mewawancarai Mona-Indra untuk angle keluarga artis yang harmonis, media pelatah itu seolah tak mau ambil pusing mencari pasangan artis lain yang harmonis, ya wawancara saja -- lagi-lagi -- Mona dan Indra. Akibatnya apa? Beberapa infotainment ramai-ramai memberitakan hal yang sama, angle sama, dan narasumber yang sama.

Kalau untuk sebuah kasus, seorang narasumber akan diburu semua media, itu wajar, karena objek beritanya adalah orang dan kasus (tidak bisa diganti dengan orang dan kasus lain. Karena kalau diganti pasti beritanya beda lagi). Tapi kalau untuk membuat berita dengan angle "Siapa artis yang harmonis? Siapa artis yang senang motor gede? Siapa artis yang hidup melajang?" Itu kan bisa leluasa mencarinya, karena objek beritanya adalah angle-nya itu sendiri dan orangnya bisa siapa saja asal sesuai kriteria angle tersebut Jangan latah. Sorry, saya begitu karena saya juga wartawan.

Pengalaman paling sering, di dalam satu acara, seorang tokoh dibiarkan menganggur. Wartawan pun duduk-duduk saja santai. Tapi ketika ada satu orang yang memulai mewawancarai sang tokoh itu, serentak semua temannya ikut menyodorkan tape recorder. Ini contoh beberapa teman wartawan yang cenderung pasif dan mengekor (karena banyak juga yang aktif, kreatif, dan lincah). Untuk golongan pasif ini bahkan satu dua tidak aktif mengajukan pertanyaan, tapi cuma menyodorkan tape recorder ke muka tokoh, sambil tidak konsentrasi, celingak-celinguk. Selesai wawancara tape recorder pun distop. Transkrip dan ditulis apa adanya.

Cara-cara seperti itulah yang antara lain melahirkan berita-berita yang tidak kritis. Narasumber dibiarkan berbicara semaunya tanpa ada bantahan dan pertanyaan kritis dan investigatif dari sang wartawan. Pembaca kesal, kenapa omongan begitu dibiarkan seperti air mengalir, tidak didebat dan dikritisi sama wartawannya? Mengapa omongan yang (maaf) kurang mutu dikutip begitu saja?

Kalau praktek seorang jurnalis seperti itu untuk liputan objek berita hangat dan kontroversi, maka sang wartawan telah mengabaikan azas cover both side. Debatlah dia sedikit. Konfrontirlah sedikit dengan pendapat yang berbeda dengan pendapatnya. Misalnya tanya begini, "Anda bilang begitu? Bukankah lawan Anda bilang begini? Bagaimanan tanggapan Anda?"

Menulis dan membuat berita mengenai Dani-Maia pun -- betapapun cerita mereka monoton -- sebenarnya bisa lebih kreatif. Saya sudah lama tidak menjadi wartawan hiburan. Pos saya di migas. Padahal saya ingin sekali menanyakan kepada Dani sisi "damai"-nya. Misalnya Dani akan saya tanya tidak dari sisi konfliknya saja seperti banyak dibuat wartawan lain. Sentuhlah dia dengan pertanyaan yang mengaduk-aduk emosinya sebagai seorang Dani yang sayang sama Maia dan anak-anaknya. Seperti apa perasaan dia seberat apapun masalah yang sudah terjadi?

Lalu sisi damai itu akan saya konfrontir ke Maia, juga dari sisi damainya juga. Sehingga mereka berdua tidak lagi dibombardir pertanyaan yang sifatnya (maaf) mengadu domba. Tidak lagi dijejali pertanyaan konflik, melainkan pertanyaan yang menyambungkan tali rasa mereka yang selama ini tertutup emosi. Bayangkan oleh Anda berita apa yang akan muncul dengan angle seperti itu?

Juga membuat berita human interest mengenai artis paling harmonis. Pasti tidak cuma pasangan Mona-Indra saja. Tak terbilang pasangan artis lain yang tidak terdengar gonjang-ganjing. Malah jumlah keluarga artis yang harmonis mungkin lebih banyak dibandingkan artis yang sedang dilanda prahara.

Ada berita yang lama diekspose tapi karena "ceritanya" terus berkembang dan berbeda-beda dari pemberitaan sebelumnya --- seperti kasus Mayangsari, Bambang Trihatmojo, dan Halimah --- over expose pun tidak terasa menjemukan. Karena audiens ibarat menonton serial drama keluarga di sebuah sineteron. Penuh dramaturgi dan konflik yang membuat penasaran banyak orang.

Seorang wartawan memang enak kalau mengikuti berita Mayangsari-Bambang Tri-Halimah, karena kisahnya penuh lompatan. Tetapi ketika menghadapi cerita Dani-Maia yang monoton dan tidak ada lompatan cerita, seorang wartawan dituntut kreatif agar over expose yang terjadi tidak tenggelam ke dalam kemonotonan yang benar-benar menjemukan.

Ketika orang disuguhi keharmonisan Mona Ratuliu dan Indra Brasco, coba deh sesekali wartawan menukik ke sisi konfliknya mereka seperti apa. Kalau Mona dan Indra tidak mau ditanya soal itu, oke nggakapa-apa. Tanya saja soal kiat, "Bagaimana Anda mengatasi konflik dalam keluarga, karena tidak manusia yang sempurna, toh?" Pasti Mona akan membeberkan dengan bangga kiat-kiatnya mengatasi konflik.

"Konflik apa saja yang biasa terjadi? Mona tidak bisa menghindari (saya jamin) untuk menjelaskan bahwa sebenarnya ada saja konflik. Namanya manusia tidak ada yang sempurna. Tinggal bagaimana pasangan Mona dan Indra mengatasinya.

Berita over expose bagi si narasumber juga bisa kontra produktif. Dalam batas tertentu artis diberitakan akan positif, tapi kalau terlalu diekspose juga tidak baik. Yang sedang-sedang saja. Oke. (NANDANG SUHERLAN)

Tidak ada komentar:

Daftar Blog Saya

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Swara Gita Musik Indonesia (SGMI) adalah organisasi komersial di bidang event organizer musik, kepromotoran, talent scouting, dan manajemen artis.