Pengantar Redaksi: Banyak tulisan mengenai riwayat Koes Bersaudara dan Koes Plus, tapi tidak banyak yang memaparkan dalam turur cerita Koesjono alis John Koeswoyo, si sulung di keluarga Koeswoyo. Berikut Harian Kompas memaparkan Koes Bersaudar dari versi cerita John Koeswoyo, si pembetot bas pada masa awal Koes Bersaudara. (Nandang Suherlan/ Swara Gita Musik Indonesia)."MERDEKA!" Itulah yang diserukan lelaki yang sudah tergolong sepuh, Koesdjono (72) alias John Koeswoyo, didampingi sang adik, Nomo Koeswoyo (65), ketika keduanya mewakili Koes Bersaudara menerima penghargaan khusus Life Time Achievement pada acara Penghargaan Musik SCTV di Jakarta, tanggal 21 Mei lalu. Khalayak pun tertawa, melihat salam yang dalam konteks dunia hiburan sekarang terkesan "kuno" itu. Apalagi, sebelumnya John sempat keliru, mengira trofi berbentuk mikrofon yang diterimanya benar-benar mikrofon, sehingga ketika dia diminta bicara, piala itu yang hendak dijadikannya mike. John, Nomo, sebagaimana saudara-saudara yang mereka wakili, yakni Tony Koeswoyo (1936-1987), Yon Koeswoyo (64), dan Yok Koeswoyo (61), memang kini nyaris bisa disebut sebagai "sejarah masa lalu". Dalam lintasan "sejarah masa lalu" dan nama besar mereka waktu itu pula, sebenarnya tercermin sejarah sosial Indonesia.
Tentang Koes Bersaudara sudahdiketahui khalayak pencinta musik di Indonesia, termasuk ketika mereka dipenjarakan pemerintahan Presiden Soekarno karena musik "ngak-ngik-ngok"-nya.Hanya saja, di balik cap "ke-Barat-Barat-an" yang mereka terima ketika pemerintahan "Orde Lama", kalau ditelusuri justru pada Koes Bersaudara kita menemukan semacam "otentisitas" ke-Indonesia-an, termasuk dalam sikap-sikap pribadi dan sosial mereka. Dalam beberapa hal pula, pada kisah kehidupan keluarga ini di masa lalu, tergores cerita-cerita mengenai kesederhanaan hidup, kerja keras banting tulang-semacam ilusi dari sebuah masyarakat yang ingin mencapai kemuliaan hidup lewat kerja. Bukankah justru ini semacam semangat "sosialisme"?
Sementara wujud musik mereka, yang pada zamannya dulu diwarnai pengaruh Everly Brothers, Kalin Twins, The Beatles, sampai The Bee Gees, bukankah itu hanya koinsidensi sejarah, yang bisa terjadi pada anak muda di segala zaman? Dalam hal pandangan hidup, Koes Bersaudara sebaliknya menggemakan pujian mengenai elok dan permainya tanah air kita, seperti lewat Pagi yang Indah, Angin Laut, atau riangnya kehidupan sosial kita lewat Dara Manisku, Bis Sekolah, dan lain-lain.
Menyimak penuturan mereka mengenai riwayat keluarga mereka, dari kakek-nenek mereka, ayah-ibu mereka, masa kanak-kanak sampai mereka semua menjadi orang dewasa dan orang tua, terlihat sebuah lingkungan keluarga dengan nilai-nilai sederhana, memiliki dignity, serta punya kepedulian pada lingkungan sosial. Senin (24/5) lalu, Kompas berbincang-bincang dengan John, Nomo, dan Yok di "kompleks Koes Bersaudara" di bilangan Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan. Dalam perbincangan selama hampir lima jam itu, John banyak menceritakan asal-usul keluarga mereka. Nomo, yang kelihatannya paling "gendeng" di antara saudara-saudaranya, menimpali dengan kisah-kisah perjuangan hidup mereka. Sedangkan Yok, banyak mengingat perjalanan musikal dari zaman Koes Bersaudara sampai Koes Plus.
Dari Tuban Baiklah, sebaiknya dijelaskan lagi, bahwa riwayat mereka bisa dikatakan dimulai dari Tuban, sebuah kota pesisir di Jawa Timur. Di kota itu, pasangan Koeswoyo dan Atmini mempunyai sembilan anak, satu di antaranya meninggal dunia ketika masih kecil. Yang tersisa kemudian adalah delapan anak, lima lelaki dan tiga perempuan. Sesuai urutannya, mereka adalah Koesdjono (John), Koesdini, Koestono (Tony), Koesnomo (Nomo), Koesyono (Yon), Koesroyo (Yok), Koestami, dan Koesmiani. Kini, dari dinasti Koeswoyo itu sudah ada 33 cucu dan 28 cicit (dari kalangan cucu, barangkali orang masih ingat nama Chicha Koeswoyo dan Sari Yok Koeswoyo dulu).
Menceritakan asal-usul keluarga Koeswoyo, John memaparkan silsilah sampai ke buyut-buyut mereka. Dari situ, dia singgung dari pihak kakeknya sebetulnya ada darah Portugis, sementara dari pihak nenek ada darah Belanda. Dari silsilah yang cukup panjang, kemudian lahirlah Koeswoyo, ayah mereka, yang pada tahun 1940-an adalah seorang pegawai negeri di T=
uban.
"Bapak saya, Koeswoyo, dulunya pegawai di KabupatenTuban. Terus karena ngganteng-nya, dia diliatin Bupati. Terus bapak saya dijodohkan dengan keponakannya, yaitu Atmini, yang kemudian menjadi ibu kami," kata John. "Sesudah zaman Jepang, Bapak menjadi Asisten Wedana di Desa Kerek, terus ke Widang. Waktu Clash II, bapak saya digerebek Belanda. Dia diultimatum, mau kooperatif dengan NICA atau langsung masuk penjara Kalisosok. Karena anaknya masih kecil-kecil, Bapak memilih bekerja sama dengan Belanda. Bapak diserahi tugas di bagian distribusi, tetapi dia malah membantu pejuang dan menyalurkan bantuan pangan. Namun lama-lama ketahuan Belanda dan diancam akan ditembak," lanjutnya.
Kata John, setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, ayahnya dikucilkan oleh teman-temannya, karena dianggap pernah bersikap kooperatif dengan Belanda. "Dia dipencilkan, sampai badannya kurus karena korban perasaan. Lama-lama Bapak berpikir, lebih baik pindah ke pusat, ke Jakarta."
Ke Jakarta Keluarga Koeswoyo pun pindah ke Jakarta. Di Jakarta, di Kementerian Dalam Negeri, tempat induk departemen di mana Koeswoyo bekerja, lagi-lagi ia merasa dikucilkan. "Departemen itu dikuasai orang Yogya," ucap John. "Maka Bapak minta pensiun, sebelum pensiunnya mateng. Bapak terus bergabung dengan Bank Timur. Dia dipercaya mengelola onderneming (perkebunan-Red) di Solo. Saya di rumah dengan empat adik. Hanya dia (menunjuk Nomo) berpetualang sendiri ke Surabaya, kerja di pabrik genteng. Yang tiga ini, Ton, Yon, Yok, saya khawatirkan jadi crossboys...," cerita John.
Karena ingin adik-adiknya memiliki "kegiatan positif", John berinisiatif membelikan alat-alat musik bagi adik-adiknya. Waktu itu John sudah bekerja di Biro Yayasan Tehnik, sebelum kemudian pindah ke pembangunan Hotel Indonesia (HI). "Saya belikan alat musik itu untuk pemersatu adik-adik. Saya belikan bas betot, gitar pengiring dua, dan drum. Belinya sama Tony di Jalan Tembaga, Nonongan, Solo. Mengapa di Solo, karena waktu itu untuk urusan alat musik yang paling komplet di Solo. Alat-alat itu dibawa pakai kereta api ke Jakarta. Terus dari stasiun diangkut dengan truk ke HI, saya kan masih kerja di HI...."
John bercerita, bagaimana ayahnya yang bertugas di Solo sempat kaget melihat John dan Tony ke Solo. "Saya dimarahi, arep opo rene? (mau apa kemari?). Saya dibilang mau merusak adik-adik saya. Nanti jadi apa mereka?" kenang John.
Keberatan Koeswoyo anak-anaknya bermain musik adalah khas kecemasan yang dirasakan umumnya orangtua pada masa itu. Sang ayah suka menunjukkan suatu contoh, di mana di Tuban ada tukang biola yang sangat pintar bermain, namanya Pak Senen. Cerita John, "Dia itu matinya ngenes, terlunta-lunta. Dia matinya di Kampung Kawatan, di tempat pelacuran dan tidak ada yang menengok. Melas sekali. Waktu mau dikubur, yang mengantar cuma tukang cangkul penggali kubur."
Ton Si Jenius Oleh keluarganya, Tony Koeswoyo dipanggil Ton, atau Mas Ton, begitu adik-adiknya memanggil. Boleh dikata, Ton inilah "lokomotif" dan inspirator Koes Bersaudara. Bakat bermusiknya sudah kelihatan sejak dia kecil. Hampir semua saudaranya bisa bercerita, bagaimana Ton kecil ketika di Tuban suka memukuli ember, baskom, dan bejana-bejana lain yang diisi air dengan lidi yang ujungnya dipasangi biji jambu. Di tangan Ton, katanya dari ember, baskom dan lain-lain itu keluar suara yang unik.
"Dasar musik itu kan rhythm. Rasa rhythm dia itu kuat sekali," tutur John. "Saya pernah ikut-ikutan memukul ember, tetapi rasanya kok tidak sebagus Ton. Kalau saya ikut-ikutan mukuli ember pakai lidi yang ujungnya ada jeruk pecelnya, dia nangis. Dia tidak mau diganggu dan saya dianggap pengacau."
Kecintaan Ton pada musik itu terus berlanjut. Ketika tahun 1952 seluruh keluarga diboyong ke Jakarta (mereka tinggal di bilangan Mendawai, Kebayoran Baru), Ton makin menjadi-jadi dengan kegiatan bermusik. John, sang kakak, ingat ketika Ton duduk di bangku SMA, dia membelikan adiknya itu sebuah gitar di Pasar Baru. "Gitar itu masih ada, nanti mau saya lelang, ha-ha-ha...," katanya.
Dikenangnya, bagaimana Ton terus memainkan gitar itu siang- malam. Ton lupa belajar, sampai- sampai katanya Ton menjadi tidak naik kelas dan lulus ujian, yang kalau dihitung sampai tiga kali.
Pada waktu sekolah pun, Ton sudah bermain band. Dia menjadi bintang, karena pintar memainkan melodi. Cewek-cewek mulai menggandrunginya. Dalam perjalanan bermusik di masa remaja itu, mereka juga mulai bermain di berbagai tempat di Jakarta, ditanggap orang untuk memeriahkan pesta ataupun di pesta-pesta perkawinan. Mereka menamakan kelompoknya Kus Brothers (semula memang ditulis dengan "u", bukan "oe"). Anggotanya banyak, termasuk Jan Mintaraga, yang di zaman meledaknya komik Indonesia di tahun 1970-an bolehlah disebut sebagai "ikon komik Indonesia". Katanya, Jan yang menulis pada vandel dari kelompok Kus Brothers, semboyan kelompok ini, yakni "Missa Solemnis" (sebuah karya Beethoven, yang artinya kurang lebih, "sesuatu yang bersumber dari hati akan mendapat tempat di hati juga").
Ketika John membelikan seperangkat alat musik bagi adik-adiknya, dibuat semacam perjanjian dengan Tony, bahwa dia hanya bermain dengan saudara-saudaranya, dengan adik-adiknya. Dari situ, solidlah Koes Bersaudara.
Dihasut oleh pelat Musik Koes Bersaudara sejak awal memang sangat dipengaruhi oleh penyanyi maupun kelompok-kelompok luar negeri seperti Everly Brothers, The Ventures, Kalin Twins, dan lain-lain. Soalnya, mereka memang mencari referensi bermusik pada piringan-piringan hitam atau pelat. Dengan kata lain, mereka "dihasut" oleh pelat-pelat dari para pemusik Barat.
Mereka masuk studi rekaman pertama kali di Studio Irama, milik Yos Suyoso atau biasa dipanggil Mas Yos (kini sudah almarhum). Tadinya, mereka sebetulnya hanya ke situ untuk memberikan contoh rekaman lagu-lagu mereka. Ternyata, hari itu juga mereka disuruh rekaman. Jadilah album pertama mereka (tahun 1962), yang pada masa itu di setiap piringan hanyaterdapat dua lagu. Lagu mereka adalah Bis Sekolah dan Dara Manisku.
Koes Bersaudara berkembang menjadi "nama besar". "Namun secara komersial kami tak mendapat hasil. Saya pernah kok di rumah sampai enggak punya duit. Saya sampai harus nyopir bemo untuk mendapat duit. Rutenya dari Mayestik-Kebayoran Lama-Santa," cerita Nomo Koeswoyo.
Nomo inilah yang dijuluki keluarganya sebagai "paling pintar berbisnis" selain "tukang berkelahi". Menceritakan tinggal sendiri di Jakarta bersama kakak dan adik- adiknya, Nomo berujar, "Kami masih mendapat kiriman uang dari Bapak, tetapi belum seminggu uang sudah habis. Suatu hari saya beli singkong sepikul. Kalau lapar mereka nggodok singkong. Eh, belum tiga hari singkong sudah busuk semua, hua-ha-ha...."
Di Penjara Glodok Episode ini, sudah banyak diungkap media massa. Tanggal 29 Juni 1965 personel Koes Bersaudara ditangkap dan ditahan di Penjara Glodok, yang kini dikenal sebagai kompleks pertokoan itu. Alasannya, mereka dijebloskan ke penjara karena menggelar musik yang "ke-Barat-Barat-an", yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan politik pada masa itu. Nomo sempat menuturkan, bagaimana kisah hidup mereka di balik terali besi selama tiga bulan. Ada tahanan yang iba terhadap mereka, namanya Oom Ging. Si oom ini iba melihat jatah makanan anak-anak ini. "Oom Ging lalu memberi sayuran yang ditanam sendiri. Belakangan saya tahu, tanaman itu diberi pupuk dari kotoran Oom Ging sendiri. Waduh...," cerita Nomo sambil tertawa.
Yang tidak banyak diketahui orang, seperti dituturkan Yok Koeswoyo, sebenarnya mereka dimasukkan penjara pada masa itu sebagaibagian untuk menjadikan Koes Bersaudara sebagai intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia. Saat itu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
"Zaman dulu ada KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Kami direkrut oleh beliau-beliau, komandannya Kolonel Koesno dari Angkatan Laut. Dibikin seolah-olah pemerintah yang ada tidak senang sama kami, lalu kami ditangkap. Dalam rangka ditangkap inilah kami nanti secara diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia. Di sana kami dipakai sebagai counter intelligence. Namun, pas keluar dari penjara pada tanggal 29 November, meletus G30S," cerita Yok.
Jadi masuk penjara itu hanya sebuah jalan menuju fase berikutnya? "Ya, jadi dibentuk opini seolah-olah kami tidak suka pada Soekarno," jawab Yok.
Waktu masuk penjara ada perasaan menyesal atau tidak? "Tidak, kita menyadari itu kok."
Ini tak pernah terungkap ya? "Ya, selama ini kita selalu rapet. Kami ikut menjaga rahasia negara. Di KOTI itu kami masuk D3, kami bisa dibangunkan, tapi bisa juga ditidurkan."
Hal sama, katanya dilakukan kelompok ini di paruh pertama tahun 1970-an (sebelum Timor Timur bergabung menjadi wilayah Indonesia, atau ada pula yang menyebut sebagai proses aneksasi), untuk Timor Timur. Dalam rangka "proyek politik" ini, katanya lahir lagu semacam Diana (lagu itu bercerita mengenai putri petani, bernama Diana. Perhatikan, Diana adalah nama yang tidak umum untuk petani di Jawa.) Ingat juga lagu Da Silva.
Anda masuk ke Timor Timur? "Kami berangkat ke sana. Kami bikin pertunjukan di =
gedung. Waktu menuju Hotel Turismo, ada orang Timur yang mendekat dan mengg=
edor-gedor mobil kami sambil berteriak-teriak, 'Viva Presidente Soeharto!' =
Waktu kami pulang dari Timor Timur kami disambut sama Adam Malik di Tanah A=
bang," ucap Yok.
Seru ya.... "Setelah mengalami itu semua, nasionalisme kami tam=
bah tebal. Itu makanya ada lagu Nusantara I, II, dan seterusnya."
Tetap sederhanaWaktu terus berlalu. Nama besar Koes Bersaudara ternyata tak terlalu berkolerasi dengan sukses ekonomi mereka. Penghasilan mulai masuk katanya sejak kelompok ini berubah nama menjadi Koes Plus, di akhir tahun 1960-an. Awal tahun 1970-an, nama Koes Plus berkibar-kibar. Penabuh drumnya adalah Murry, menggantikan Nomo. Nomo diganti, katanya karena sikap keras Ton, mau bermusik atau melakukan kegiatan lain. Saat itu, Nomo menyatakan tak bisa sepenuhnya bermain musik, karena dia sudah berkeluarga, punya anak, dan musik saat itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan gantungan hidup.
Kini, Koes Plus tetap ada, dengan hanya Yon dari keluarga ini yang masih aktif di panggung. Para putra lelaki Koeswoyo yang lain, seperti John, Nomo, dan Yok, tinggal di satu kompleks, dengan gaya hidup sederhana mereka, dengan dignity mereka, sebagai sosok-sosok berkarakter kuat, yang pernah memberi warna pada sejarah sosial kita.
Pewawancara:
Frans Sartono
Efix Mulyadi
Bre Redana
Copyright =A9 2002 Harian KOMPAS
Sumber: Harian Kompas, Jakarta,30 Mei 2004.